Penghapusan Ujian Nasional (UN) pada 2021 oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan ( Mendikbud) Nadiem Makarim masih menyisakan banyak pertanyaan. Bagi yang belum paham, berikut rangkuman dari Kompas.com terkait UN dihapus dan diganti dengan kebijakan baru yakni ” Merdeka Belajar”. 
Pada acara Rapat Koordinasi Bersama Dinas Pendidikan Provinsi dan Kabupaten/Kota di Jakarta 11 Desember 2019, Nadiem menjelaskan ada empat program pembelajaran nasional. Empat program itu sebagai kebijakan pendidikan nasional “Merdeka Belajar”. Apa itu program “Merdeka Belajar”? Inilah penjelasan Mendikbud Nadiem: 
1. USBN diganti ujian (asesmen) 
Menurut Nadiem, situasi saat ini USBN membatasi penerapan dari semangat UU Sisdiknas yang memberikan keleluasaan bagi sekolah untuk menentukan kelulusan. Untuk arah kebijakan barunya, Tahun 2020 USBN akan diganti dengan ujian (asesmen) yang diselenggarakan hanya oleh sekolah. Nantinya, ujian dilakukan untuk menilai kompetensi siswa. Dimana ujian dalam bentuk tes tertulis dan atau bentuk penilaian lain yang lebih komprehensif. Seperti portofolio dan penugasan (tugas kelompok, karya tulis dan sebagainya). Dengan begitu, guru dan sekolah lebih merdeka dalam menilai hasil belajar siswa. Bahkan diharapkan anggaran USBN dialihkan untuk mengembangkan kapasitas guru dan sekolah guna meningkatkan kualitas pembelajaran. 
2. 2021 UN diganti 
Menteri Nadiem melihat situasi saat ini materi UN terlalu padat sehingga siswa dan guru cenderung menguji penguasaan konten, bukan kompetensi penalaran. Disamping itu, UN dianggap jadi beban siswa, guru dan orangtua karena menjadi indikator keberhasilan siswa sebagai individu. Karenanya tahun 2020, UN akan dilaksanakan terakhir kalinya. Sebagai penggantinya, pada 2021, UN diubah menjadi Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter. Baca juga: Ini Konsep Baru UN dan USBN Versi Merdeka Belajar Mendikbud Makarim Asesmen tersebut tidak dilakukan berdasarkan mata pelajaran atau penguasaan materi kurikulum seperti yang diterapkan dalam ujian nasional selama ini, melainkan melakukan pemetaan terhadap dua kompetensi minimum siswa, yakni dalam hal literasi dan numerasi. Asesmen ini dilakukan pada siswa di tengah jenjang sekolah (misalnya kelas 4, 8, 11). Arah kebijakan baru ini juga mengaju pada praktik baik padan level internasional seperti PISA dan TIMSS. 
3. RPP dipersingkat 
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) selama ini, guru diarahkan mengikuti format RPP secara kaku. Tetapi nanti guru akan bebas memilih, membuat, menggunakan dan mengembangkan format RPP. Dulu, RPP terlalu banyak komponen dan guru diminta menulis sangat rinci (satu dokumen RPP bisa lebih 20 halaman). Tetapi nanti akan dipersingkat yakni RPP berisi tujuan pembelajaran, kegiatan pembelajaran dan asesmen. RPP hanya 1 halaman saja. Sehingga penulisan RPP dilakukan dengan efisien dan efektif yang menjadikan guru punya waktu untuk mempersiapkan juga mengevaluasi proses pembelajaran itu sendiri. 
4. Zonasi PPDB lebih fleksibel 
Untuk program “Merdeka Belajar” yang terrakhir ini, Nadiem menjelaskan bahwa Kemendikbud tetap menggunakan sistem zonasi dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB). Adapun kebijakannya, PPDB lebih fleksibel untuk mengakomodasi ketimpangan akses dan kualitas di berbagai daerah. Menurut Nadiem, komposisi PPDB jalur zonasi dapat menerima siswa minimal 50 persen, jalur afirmasi minimal 15 persen, dan jalur perpindahan maksimal 5 persen. Untuk jalur prestasi atau sisa 0-30 persen lainnya disesuaikan dengan kondisi daerah. “Daerah berwenang menentukan proporsi final dan menetapkan wilayah zonasi,” ujar Nadiem. 
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul “Gebrakan “Merdeka Belajar”, Berikut 4 Penjelasan Mendikbud Nadiem”,